Kuasa Aksara dan Masa Depan Pembaca

Gilang Ramadhan
2 min readMar 10, 2024

--

Buku Kuasa Aksara by M. Fauzi Sukri/Dok. Pribadi

Kita hidup di zaman maha percepatan beraksara. Namun, ironis nan tragisnya tak ada evolusi percepatan pembaca. Pada zaman manuskrip, penulisan buku butuh waktu berbulan bahkan bertahun. Lalu, pada zaman cetak modern, yang bertahap dari cetak batu (litografi) sampai cetak digital, produksi aksara bisa dimaksimalkan sedemikian hebat. Sekarang, satu buku (kertas) dengan ketebalan ratusan halaman bisa selesai diproduksi dalam ribuan eksemplar hanya dalam hitungan hari. Bahkan cetak ebook bisa dilakukan tanpa batas. Masalahnya: apakah terjadi evolusi percepatan membaca, apakah terjadi evolusi pemahaman membaca. Kuasa revolusi cetak aksara tampak tak bersama evolusi memahami teks.

Kutipan tersebut menggambarkan paradoks antara kemajuan teknologi dalam produksi tulisan dan kurangnya perkembangan sebanding dalam kemampuan membaca dan memahami teks. Zaman maha percepatan beraksara menunjukkan kemajuan pesat dalam produksi tulisan, dari manuskrip hingga cetak modern, yang memungkinkan pembuatan buku dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Namun, ironisnya, kutipan menyuarakan keprihatinan bahwa tidak ada evolusi sejalan dalam percepatan pembacaan dan pemahaman teks.

Pada era manuskrip, penulisan butuh waktu yang lama, tetapi pada zaman cetak modern, produksi aksara meningkat pesat. Meskipun buku dapat diproduksi lebih cepat, pertanyaan mendasar muncul: apakah kita telah mengalami evolusi dalam membaca dengan cepat dan memahami informasi dengan lebih baik? Kutipan tersebut merenungkan bahwa, meskipun ada revolusi dalam produksi tulisan, evolusi pemahaman membaca tampaknya tertinggal.

Dengan kemampuan cetak digital dan ebook tanpa batas, kendala produksi bukan lagi hambatan. Namun, fokusnya beralih pada apakah evolusi pembacaan dan pemahaman telah mengikuti kemajuan tersebut. Hal tersebut mendorong kita untuk mempertimbangkan tidak hanya seberapa cepat kita dapat memproduksi teks, tetapi juga seberapa efektif kita dalam memahami dan meresapi informasi yang disajikan.

Dalam buku Kuasa Aksara yang ditulis M. Fauzi Sukri ini, kegelisahan itu dibuka melalui dua tokoh bangsa sekaligus pecinta buku: Hatta dan Tan Malaka. Uniknya, secara imajinatif penulis membayangkan bagaimana pendapat mereka tentang ebook.

Meskipun keduanya sama-sama mencintai buku, nasib mereka berbeda dalam hubungannya dengan dunia literasi.

Tan Malaka, seorang buronan politik, menghadapi kendala ketika harus melarikan diri. Sayangnya, ia tidak dapat membawa buku-bukunya dalam pelarian dan terpaksa membuangnya. Bagi Tan Malaka, buku-buku yang ia tinggalkan mungkin menjadi bagian dari kenangan dan perjuangannya.

Sementara itu, Hatta memiliki kebebasan lebih dalam mengakses buku-buku. Ia adalah seorang intelektual yang aktif dan memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Buku-buku menjadi sahabatnya, sumber inspirasi, dan wadah untuk memperdalam pemikirannya.

Buku tipis ini juga menyentil persoalan politik dan politikus. Dikatakan bahwa para politikus sudah meninggalkan tradisi beraksara dan, karena alasan praktis dan mengikuti kemajuan zaman, mereka menempuh praktek berkomunikasi melalui media gambar/foto. Pada bagian Aksara dan Politik, penulis mengkritik bahwa kebanyakan politikus tak mampu melahirkan kata-kata; gagasan politik yang bertenaga dan dipenuhi pemahaman mendalam.

Secara keseluruhan, buku yang memuat tujuh esai ini mengajak kita merenung tentang pentingnya literasi, peran buku dalam hidup kita, dan bagaimana kita dapat menjaga warisan literer untuk masa depan.

--

--

Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan

Written by Gilang Ramadhan

A passionate Content Writer who studied Indonesian Literature and enjoys learning about SEO

No responses yet